Kamis, 31 Januari 2013

Tong Kosong Memang Berbunyi Paling Nyaring

Pagi itu salah seorang seniorku di kampus, sekaligus seniorku di Organisasi Pecinta Alam (OPA)---Mas Gilang---mengirimiku email tentang open recruitment di perusahaan tempat dia bekerja, dia berpesan padaku untuk menyebarluaskan 'iklan' itu kepada teman-teman satu organisasi kami.

Aku ingat dulu dia pernah cerita, secara tidak langsung dua teman seorganisasi kami---yang angkatannya di bawah Mas Gilang---lolos recruitment di tempat dia bekerja, karena saat HRD meminta pendapatnya, Mas Gilang memrekomendasikan mereka.

OPA kami memang terkenal sangat solid bukan hanya sebatas lingkup organisasi namun mulai dari urusan perkuliahan bahkan sampai kami menjadi jobseeker para senior yang sudah memiliki jabatan cukup tinggi di tempatnya bekerja, tidak sungkan-sungkan merekomendasikan kami, mungkin selain karena rasa kekeluargaan, organisasi kami juga menerapkan sistem kaderisasi yang tidak main-main hingga melahirkan para kader-kader yang berkualitas.

Akupun---dengan niat membantu, karena jika saja saat ini aku belum berstatus pegawai negeri tidak mustahil peluang ini akan aku ambil---membantu Mas Gilang mem-posting iklan tersebut di grup-grup organisasi kami yang ada di Whatsapp dengan tambahan kalimat, "Titipan Mas Gilang, yang berminat langsung hubungi Mas Gilang aja."

Kebetulan salah satu grup Whatsapp tempatku mem-posting beberapa anggota senior di grup tersebut juga bekerja di perusahaan yang sama dengan Mas Gilang, hanya beda penempatan. Salah satunya menanggapi posting-anku tersebut. Mba Citra Namanya...

Mba Citra : "Mas Gilang pindah ke HR yak, haha."

Untungnya tidak ada Mas Gilang disitu, kalimat yang dilontarkan Mba Citra cukup nyindir menurutku.

Aku : " Udah ada 2 anak OPA kita tuh yang lolos berkat rekomendasinya."
Mba Citra : "Itu dikasih tips-tipsnya doang kali. Kalau lolos atau engganya mah usaha masing-masing."
Aku : "Iya lah mba, tetap mengandalkan skill masing-masing juga, tapi kalau ada yang bantu rekomenin kan makin mantap."
Mba Citra : "Gak ngaruh kalau rekomennya masih sekelas kita-kita mah."
Aku : "Owh gitu ya mba, soalnya kata Mas Gilang yang mau masuk, punya minat, silahkan register dan kontak Mas Gilang."
Mba Citra : "Oh ya gapapa, kontak saya juga boleh, hahaha. Tapi kami yang sudah bekerja disini tidak memiliki andil dalam tiap pengambilan keputusan kandidat yang dipilih."

Dia mulai meremehkan Mas Gilang, aku memang tidak tau apa-apa soal tingkatan di perusahaan mereka, tapi setau aku Mas Gilang lebih senior daripada Mba Citra. Nalarku sih harusnya Mas Gilang sudah punya posisi di atas Mba Citra jika dilihat dari aspek lamanya berkerja. Secara halusnya Mba Citra menganggap Mas Gilang bukan siapa-siapa dan tak punya kuasa. Aku juga sebenarnya kurang tau tentang jabatan Mas Gilang, tapi selama ada senior yang mau membantu merekomendasikan juniornya aku sangat mendukung. Lantas kenapa orang setipikal Mba Citra mesti meremehkan seperti itu, Mba Citra memang tidak pernah aktif di OPA kami, bahkan saat aku masih berstatus anggota aktif---anggota yang masih berstatus mahasiswa---Mba Citra tidak pernah berkontribusi sedikit pun. Aku tidak terlalu memusingkan itu, tapi setidaknya dia harus lebih peka dan menanyakan kepada dirinya sendiri, 
"Apa yang selama ini sudah dia berikan, sehingga dia merasa berhak meremehkan 'pemberian' orang lain?"

Selasa, 29 Januari 2013

Saat Ego Membuat Uang Tidak Berarti

Kau tau saat seseorang yang kau kenal mulai memperlihatkan sifat aslinya. Sifat buruknya yang mulai kelihatan semakin kau mengenalnya semakin buruk saja kelakuannya. Bu Rini, rekan kerjaku, aku sudah tau bagaimana egois dan pemarahnya dia. Tapi ternyata dia masih menyimpan keburukan yang lebih buruk daripada yang tampak selama ini.

Aku bukan tipe orang yang suka membicarakan orang lain. Aku tidak suka mencampuri urusan orang lain. Selama hal itu tidak bersinggungan denganku, aku akan masa bodoh. Bu Rini sudah melewati batas. Aku tau bagaimana korupnya dia, tau bahwa di belakang suaminya yang penyabar dia suka 'bermain' dengan pria lain. Tapi sejak Kepala Seksiku---Bu Tini---pensiun dan belum ada penggantinya, Bu Rini seakan-akan langsung melepas 'topeng' baik-baik yang dikenakannya.

Bertindak sok kuasa, mengatur-ngatur, dan yang paling menyebalkan hampir sepanjang hari marah-marah. Puncaknya saat ia tiba-tiba nge-BBM aku. Sambil marah-marah karena tiba-tiba ada undangan rapat kunjungan kerja anggota DPR RI. Memang, yang paling sering diandalkan---atau lebih tepatnya ditumbalkan---untuk mengikuti rapat hal-hal terkait seksi-ku, ialah aku. Berhubung hari itu aku sedang dinas keluar kota, Bu Rini yang diserahi undangan tersebut seperti kebakaran jenggot, karena tidak ada diriku yang bisa dia suruh seenak jidatnya. Dia pun marah-marah padaku karena pergi dinas luar kota tanpa terlebih dahulu memebritahunya perihal rapat hari itu, padahal disposisi baru keluar hari itu juga.

Aku tau dia marah karena ketidakhadiranku memposisikan dirinya untuk mewakili rapat tersebut. Satu hal yang aku tau lagi, dia hanya seorang pegawai yang hanya menginginkan bagimana mendapatkan uang banyak dengan usaha sedikit. Sebagai seorang pegawai senior seharusnya dia yang lebih berpengalaman bisa mengahandle hal remeh temeh seperti itu tanpa harus melampiaskan emosinya padaku.

Keesokan harinya, dia BBM aku lagi, namun dengan bahasa yang baik dan halus. Apalgi kalau bukan ada maunya. Dia ingin aku membantunya menghandle kegiatan dia. Aku tidak menggubrisnya. Aku ingin dia sadar, bahwa penjilat yang kerjanya hanya bersikap manis bila ada perlunya, tidak akan pernah mendapatkan teman sejati.

Meski aku tahu, bahwa sebagai seorang PNS semakin sering terlibat di banyak kegiatan, akan membuat pundi-pundi pemasukan bertambah. Tapi aku merasa malu pada egoku yang cenderung idealis, jika harus membantu orang yang tidak tahu bagaimana mengahargai rekan kerjanya. Membantu dia yang sering 'memakan' uang negara dan mengahamburkannya untuk bercinta dengan para lelaki lain dibelakang suaminya, bisa membuat harga diriku luluh lantak.

Selasa, 22 Januari 2013

Seperti Anak Sekolah Tanpa Gurunya

Sepi..suasana apel pagi ini di kantor. Lapangan yang biasanya penuh oleh para pegawai yang berbaris rapi mengikuti apel sekarang hanya terisi sepertiganya saja. Sebagian besar---khususnya para kepala-kepala bereselon empat hingga dua--- karena memang sedang dinas luar ke Solo mengikuti Rakorbang yang rutin berlangsung di awal tahun guna mengoordinasikan kegiatan-kegiatan kantor kami selama setahun kedepan. Namun sebagian besarnya lagi---para kroco-kroco pemalas---memilih bolos "mumpung para bos tidak ada".

Beginilah kondisi instansi tempatku mengabdi. Seperti de javu saja. Mengingatkanku di masa sekolah saat jam pelajaran kosong atau saat para guru harus rapat sehingga para murid pun bebas seakan lepas dari kerangkengnya. Tidak kusangka hal tersebut berlaku pula di dunia kerja khususnya di pemerintahan.

Salah satu kelemahan dari instansi pemerintah, PNS tak mengenal PHK, karena tak ada yang namanya pemilik perusahaan seperti halnya di lingkup swasta. Saat karyawan tidak disiplin si pemilik perusahaan akan memecatnya karena merugikan perusahaan. Namun kami PNS tidak akan dipecat meski kami datang ke kantor hanya untuk absen. Miris memang, tapi begitulah realitanya. Sayangnya mereka tidak berpikir bahwa negara ini milik kita semua. Harusnya mereka berpikir saat mereka tidak disipilin maka negaralah yang rugi jika negara rugi mereka pun rugi. Yah sebagian besar tabiat orang Indonesia hanya memikirkan perutnya sendiri.

Sabtu, 19 Januari 2013

Korupsi itu Bukan Cuma Milik Pejabat Tinggi

Tidak habis pikir aku melihat kelakuan beberapa orang seruangan. Korupsi..penggelapan..mengambil apa yang bukanlah hak mereka. Tidak..aku tidak bisa hanya diam..aku harus melaporkannya..itulah yang pertama muncul di kepalaku. Jika tidak maka semua barang dikantor bisa habis mereka ambil satu persatu. Monitor kantor, printer, CPU, TV, hingga dispenser pun bisa raib.

Dalam melaksanakan kegiatan menggunakan APBD---duit negara, duit rakyat---biasanya ada sisa anggaran. Oleh kepala seksi-ku---Bu Tini---dana sisa tersebut dibelanjakan beberapa keperluan untuk ruangan, seperti TV baru untu hiburan menghilangkan penat karena TV yang lama sudah rusak, tiga monitor baru karena kebanyakan yang kami gunakan adalah monitor-monitor jadul yang tentunya dapat menambah semangat kerja dan juga lebih hemat energi, satu set CPU dan monitornya karena terkadang kami harus mengantri untuk menggunakan komputer yang jumlahnya lebih sedikit daripada jumal kami---para staf---dalam satu seksi, dua printer baru karena printer lama yang rusak dan juga untuk melengkapi CPU dan monitor yang baru tadi. Intinya Bu Tini ingin agar kami dapat melaksanakan tugas negara sebaik-baiknya tanpa harus terkendala masalah sarana dan prasarana.

Terhitung sejak bulan Januari Bu Tinu pun memasuki masa pensiunnya. Tinggalah kami hingga saat ini belum memiliki penggantinya. Bu Wiwi dan Bu Rini---para senior di ruanganku---pun seperti pencuri yang ditinggalkan dalam rumah kosong yang ditinggal pemiliknya. Satu-persatu perangkat yang dulu dibeli oleh Bu Tini diambili oleh mereka. Monitor baru yang terpasang diganti kembali dengan monitor-monitor yang lama---monitor baru pun berpindah tempat ke rumah  mereka. Saat aku mempertanyakannya, dengan lancang pun bu Rini mejawab, "Ini kan dibelinya bukan dari pengadaan rutin kantor, nda di nomeri, nda masuk inventaris kantor, lagian ini dibelinya pake uang sisa kegiatan-KU, ya suka-suka aku to yo, kalau bukan karena uang sisa kegiatan-KU tidak mungkin ruangan kita bisa beli macam-macam begini."
Ya aku sangat shock hingga hanya menyahutinya dari dalam hati saja, "Tapi kan uang kegiatan Ibu BUKAN uang ibu, tapi uang negara!!"

Memang sejak awal sistem yang diterapkan di seksiku terbilang rancu. Setiap tahunnya kami akan mengadakan kegiatan sesuai dengan tupoksi seksi kami. Dan kepala seksi pendahulu---sebelum kepemimpinan Bu Tini---menerapkan sistem yang sangat aneh. Bagaimana tidak, setiap kegiatan akan memiliki Koordinator Kegiatan (Korgiat) masing-masing namun yang memegang dan mengelola anggarannya ya Korgiat itu sendiri. Peluang untuk korupsi benar-benar terbuka, padahal seharusnya di tiap seksi terdapat bendahara umum yang mengatur keluar-masuknya anggaran. Alhasil tiap kali ada sisa anggaran akan ditilap habis oleh si Korgiat. Bu Tini yang menyadari hal tersebut---karena Bu Wiwi dan Bu Rini TIDAK PERNAH memberikan laporan keuangan yang jujur---menerapkan adanya bendahara umum yang membantu Korgiat 'memperbaiki' pergerakan keuangan. Dari situlah akhirnya kami merasakan yang namanya "anggaran sisa" karena sebelumnya tidak pernah ada yang namanya "anggaran sisa".

Bu Wiwi dan Bu Rini yang merasa sebagai Korgiat merasa bahwa sisa dana kegiatan tersebut adalah hak mereka, mengambili satu-persatu perangkat yang dulu telah dibeli di bawah kepemimpinan Bu Tini. Apa benar-benar sudah TIDAK PUNYA rasa MALU sedikitpun?? Mengambili apa yang bukan milik mereka.

Oh aku tidak tinggal diam, aku mengadu ke Bu Eti sesama staf di seksiku, yang walaupun senior beliau termasuk staf baru di seksiku, pindahan dari seksi lain---secara berkala selalu ada rolingan staf---berbeda dengan Bu Wiwi dan Bu Rini yang memang sudah lama 'mendekam' di seksi ini. Dan Bu Eti pun menghubungi Bu Tini yang telah pensiun agar segera ditindaklanjuti hingga ke kepala bidangku---Bu Rara. Mereka benar-benar seperti berada di rumah kosong yang ditinggal oleh pemilikinya, sementara Bu Tini sudah pensiun dan belum memiliki pengganti, Bu Rara selaku kepala bidangku pun---dalam satu bidang terdapat tiga seksi---sedang ditugaskan untuk mengikuti diklat selama dua bulan. Entah kebijakan seperti apa kelak yang akan diambil Bu Rara, tapi sejauh ini aku sudah bertindak sesuai porsiku. Karena apapun alasannya, yang mereka lakukan itu tidak lain adalah PENJARAHAN.

Pencuri yang menjarah dari negaranya sendiri. Tragis memang tapi inilah realita yang terjadi di salah satu instansi besar di kota tempatku berdomisili ini. Saat mata semua rakyat tertuju pada pejabat-pejabat tinggi yang---katanya---korupsi, menggelapkan uang rakyat, merugikan negara, apakah mereka sadar bahwa pegawai instansi yang HANYA seorang staf sedang menggerogoti bangsa ini---sedikit demi sedikit, dan pastinya masih banyak Bu Wiwi dan Bu Rini lainnya di luar sana, di luar seksiku, di luar bidangku, di luar instansiku. Terkadang timbul sedikit rasa putus asa dalam hatiku, apakah negaraku ini masih bisa diselamatkan??

Jumat, 18 Januari 2013

Dewasa itu Bukan Masalah Usia

Ingin rasanya kuluapkan amarahku seketika saat Bu Wiwi---untuk kedua kalinya---menjatuhkan BBku. Bukan..bukan karena BBku yang jatuh kemungkinan bisa rusak, karena aku tau dia memang tidak sengaja..yang membuat amarahku serasa di ubun-ubun karena dia mengabaikannya. Bukan..bukan karena ia tidak mengambilkan BBku yang sudah terkapar di lantai..tapi tak sepatahpun kata maaf terucap dari bibirnya. Bahkan seakan dia lebih merasa bahwa itu salahku yang menggeletakkan BBku---yang sedang di charge---disitu, di dekat telepon kantor, sehingga ia yang selesai memakai telepon membuat kabel chargernya tertarik hingga jatuh.

Ini bukan yang pertama, tapi yang kedua kalinya. Aku sungguh-sungguh marah melihatnya tak berniat sedikitpun untuk meminta maaf. Bahkan di kejadian pertama kalinya 'insiden' itu dengan santainya ia hanya berkata, "ah ga apa-apa itu (BBku)".

Untungnya aku masih mendengarkan bagian yang cukup waras dari dalam kepalaku. Meluapkan amarahku saat itu juga hanya akan menimbulkan masalah baru. Alasan pertama ibu itu lebih tua 33 tahun dariku dan yang paling utama dia 'sang senior' di kantorku, aku si anak baru tidak akan mendapatkan manfaat apa-apa jika memakinya saat itu juga. Dan bukankah aku sudah bertekad untuk tidak kalah lagi dari emosiku yang meluap-luap. Aku harus mengontrolnya jika tak ingin menjadi 'penunggang yang dituntun kudanya'. Kularikan amarahku, kupendam dalam-dalam, walau saat menggeser kursi---untuk mengambil BBku yang terjatuh---aku tak bisa menahan diri untuk tidak sedikit membantingnya. Dan tak banyak bicara kupindahkan telepon kantor itu agar kejadian serupa tidak terulang. Tidak..aku tidak mengeluarkan sepatah katapun..karena menahan emosi bagiku butuh tenaga extra..fokus yang teramat fokus. Bu Wiwi?? Jangan heran dia sudah melenggang pergi sedaritadi keluar dari ruangan TANPA memperlihatkan rasa bersalah sedikitpun.

Diam belum cukup meredakan amarahku layaknya 'bom waktu' yang siap meledak kapan saja jika tidak dijinakkan. Aku berlari ke mesjid. Mungkin air wudhu dan solat Dzuhur 4 rakaat mampu menjinakkannya. Kuingat-ingat kembali ceramah saat pengajian kemarin. Bagaimana hebatnya Nabi Muhammad SAW mengontrol emosinya dengan cerdas. Alhamdulillah kali ini aku bisa menunggangi dan mengotrol 'kuda liar'-ku itu.

Kuluapkan sedikit amarahku sembari curhat di personal message BBMku "Semakin tua seseorang semakin sulit baginya untuk meminta maaf meski jelas-jelas sudah salah."
Sedikit bagian diriku ingin ia tau hanya karena ia dituakan bukan berarti setiap tindak tanduknya benar. Aku ingin ia tau bahwa harga diriku benar-benar terluka karenanya. Aku ingin ia tau entah bagaimana caranya---karena dia bukan pengguna BBM, aku sedikit berharap ada yang menyampaikan padanya.

Kamis, 17 Januari 2013

Saat Upacara Tidak Diinginkan

Belum pernah----yah setidaknya selama 2 minggu terakhir---aku benar-benar menginginkan agar pagi ini hujan turun dengan lebat disertai angin kencang seperti dua malam kemarin. Pasalnya---lagi-lagi---hari ini aku harus jadi petugas Pembaca Panca Prasetya dalam rangka upacara rutin setiap tanggal 17. Kau tahu dulu aku sempat berfikir bahwa kebiasaan upacara ini akan berakhir setamat aku dari SMA. Tapi nasib berkata lain, 'ladang' rejekiku ditakdirkan berada di bawah naungan pemerintahan. Yup sudah hampir 2 tahun ini aku resmi menjadi PNS alias Pegawai Negeri Sipil. Dan upacara akan menjadi kegiatan rutin yang harus aku lalui setiap hari senin, hari besar nasional, dan setiap tanggal 17. Seakan semuanya belum cukup buruk, sebagai 'anak baru' aku menjadi langganan petugas, kadang sebagai pengibar bendera namun seringnya sebagai Pembaca UUD 1945.

Khusus upacara tanggal 17 akan selalu ada petugas Pembaca Panca Prasetya---semacam janji Korps Pegawa Republik Indonesia---yang nantinya akan berdampingan dengan Pembaca UUD 1945 untuk maju bertugas. Petugas upacara pun digilir---tujuannya agar tidak monoton---kepada masing-masing bagian atau bidang yang ada di instansi tempatku berkerja. Yah walaupun istilahnya digilir namun tetap saja untuk masing-masing bagian atau bidang punya petugas-petugas andalan, ujung-ujungnya yang tugas ya orang-orang itu saja. Di bagianku aku salah satunya yang sering menjadi 'tumbal', karena aku anak baru---menurutku ini bentuk lain dari perpeloncoan---dan juga aku adalah staf yang paling muda, bukan hanya di bidangku tapi juga di lingkungan instansiku. Dan setiap bertugas upacara tanggal 17 aku selalu 'berduet' dengan rekan sebidangku---sesama 'tumbal'---yang bernama Andi. Menjadi petugas itu sudah cukup buruk menurutku, namun jika harus berpartner dengan Andi semuanya akan menjadi 5 kali lebih buruk. Yah dia tidak seburuk itu, tapi entah kenapa aku selalu memiliki perasaan tidak suka yang kurang wajar ke Andi. Mungkin karena dia terkesan punya perasaan terhadapku dan juga sangat tidak sopan terhadapku, kalau orang Jawa bilang 'mbati', dan itu sangat menggangguku hingga lama-kelamaan aku selalu berusaha untuk mengindarinya, sungguh tak nyaman berada dekat dengan lelaki genit yang usianya berbeda sedekade denganku. Itulah yang membuatku berharap pagi ini hujan deras menolongku.

Tapi langit berkata lain, di puncak musim hujan ini langitpun mogok mencurahkan airnya---hanya ada sedikit gerimis yang sempat melambungkan harapanku sesaat. Dan aku harus melalui keadaan tak nyaman ini untuk melaksanakan tugas pembacaan Panca Prasetya. Yah seperti yang tertera dalam Panca Prasetya tersebut, tidak peduli apa yang kurasakan, aku harus tetap menjunjung tinggi profesionalisme.